Riza dalam wawancaranya dengan Tony Kusmiran menyatakan bahwa Credit Union (CU), diambil dari bahasa Latin “credere” yang artinya percaya dan “union” atau “unus” berarti kumpulan. Sehingga “Credit Union” memiliki makna kumpulan orang yang saling percaya, dalam suatu ikatan pemersatu dan sepakat untuk menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama untuk dipinjamkan kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.
Menurut Sarvianus Mimi, Credit Union ialah “kumpulan orang” (disebut anggota) yang bersepakat membentuk sebuah perusahaan atau lembaga keuangan sebagai sumber modal bersama. Dengan modal dari kekurangannya, orang-orang tersebut menginvestasikan, meminjamkan dan mengembangkan uang diantara sesama mereka, dengan bunga yang layak untuk kepentingan produktif demi mencapai kesejahteran dan kebebasan finansial (keuangan) secara bersama-sama. Credit Union berasal dari bahasa latin “Credere” yang berarti saling percaya, dan “Unus” yang berarti komunitas/kumpulan, jadi Credit Union adalah Sekumpulan orang yang saling percaya.
SEJARAH SINGKAT LAHIRNYA CREDIT UNION
Menurut sejarahnya, CU lahir pertama kali pada pertengahan abad 19 di Jerman yang dilatarbelakangi keprihatinan terhadap kondisi sosial ekonomi yang suram. Lembaga ini digagas seorang walikota Flammersersfield, Jerman Barat, bernama Friedrich Wilhem Raiffeisien.
Pada abad ke-19, Jerman dilanda krisis karena badai salju yang melanda seluruh negeri. Para petani tak dapat bekerja dan banyak tanaman tak menghasilkan. Penduduk pun kelaparan. Situasi ini dimanfaatkan oleh orang-orang berduit. Mereka memberikan pinjaman kepada penduduk dengan bunga yang tinggi. Banyak orang terjerat hutang. Karena tak punya penghasilan dan dibebani bunga yang sangat tinggi, akhirnya mereka tak mampu membayar hutang. Sisa harta benda mereka pun disita oleh lintah darat. Karena kehidupan di desa sangat sulit, banyak orang pergi ke kota.
Tak lama berselang, terjadi Revolusi Industri. Pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia iambil alih oleh mesin-mesin. Banyak pekerja terkena PHK. Jerman dilanda masalah pengangguran secara besar-besaran. Melihat kondisi ini wali kota Flammersfield prihatin dan ingin menolong kaum miskin. Nama wali kota itu F.W. RAIFFEISEN. Ia mengundang orang-orang kaya untuk menggalang bantuan. Ia berhasil mengumpulkan uang dan roti, kemudian dibagikan kepada kaum miskin. Ternyata derma tak memecahkan masalah kemiskinan. Sebab kemiskinan adalah akibat dari cara berpikir yang keliru. Penggunaan uang tak terkontrol dan tak sedikit penerima derma memboroskan uangnya agar dapat segera minta derma lagi. Akhirnya, para dermawan tak lagi berminat membantu kaum miskin.
Raiffeisen tak putusasa. Ia mengambil cara lain untuk menjawab soal kemiskinan ini. Ia mengumpulkan roti dari pabrik-pabrik roti di Jerman untuk bagi-bagikan kepada para buruh dan petani miskin. Namun usaha ini pun tak menyelesaikan masalah. Hari ini diberi roti, besok sudah habis, begitu seterusnya. Berdasar pengalaman itu, Raiffeisen berkesimpulan: “kesulitan si miskin hanya dapat diatasi oleh si miskin itu sendiri. Si miskin harus mengumpulkan uang secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan yang produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan pinjaman adalah watak si peminjam.”
Untuk mewujudkan impian tersebut, Raiffeisen bersama kaum buruh dan petani miskin membentuk lembaga bernama Credit Union (CU) – artinya, kumpulan orang-orang yang saling percaya. Mereka mencetuskan 3 prinsip utama CU yaitu, azas swadaya (tabungan hanya diperoleh dari anggotanya), azas setia kawan (pinjaman hanya diberikan kepada anggota) dan azas pendidikan dan penyadaran (membangun watak adalah yang utama; hanya yang berwatak baik yang dapat diberi pinjaman).
CU yang dibangun oleh Raiffeisen, petani miskin dan kaum buruh berkembang pesat di Jerman, bahkan menyebar ke seluruh dunia. Ke Canada, CU dibawa oleh seorang wartawan bernama Alphonse Desjardin pada awal abad ke-20. Ke Amerika Serikat, CU dibawa oleh seorang saudagar kaya bernama Edward Fillene. Suster Mary Gabriella Mulherim membawa CU ke Korea, sementara Pastor Karl Albrecth Karim Arbi, SJ memperkenalkan CU di Indonesia pada tahun 1970-an.
GERAKAN CREDIT UNION DI INDONESIA
Credit Union, pertama kali muncul di Indonesia pada 1960-an yang mulai dikembangkan dari barat. Seorang pastor Katolik asal Jerman bertugas di Indonesia dan membawa konsep tersebut. Kemudian CU mulai diperkenalkan ke Kalimantan Barat pada 1975.
Pada tahun 1975 oleh gereja Katolik. diadakan pelatihan pembentukan CU sehingga lahir 40 kelompok. CU tertua di Kalbar ada di Kecamatan Parindu, Kabupaten Sangkau. CU pertama berdiri tahun 1976, yaitu CU Lantang Tipo di Sangkau Namun dalam perkembangannya, CU tersebut "menghilang". Pada sekitar tahun 1985, diadakan sosialisasi ulang yang diikuti oleh sejumlah anggota lembaga swadaya masyarakat, salah satunya dari Pancur Kasih. Gagasan pendirian CU kembali muncul sehingga terbentuklah CU Khatulistiwa Bhakti pada 12 Mei 1985 disusul CU Pancur Kasih pada 28 Mei 1987. Seiring dengan perjalanan waktu, CU-CU terus bermunculan hingga Desember tahun 2006, sehingga CU yang dinaungi Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Kalimantan kini telah beranggota 48 CU primer.
Dalam rangka menjawab masalah kemiskinan dan situasi umat berkenaan dengan persoalan sosial ekonomi, maka disepakati bersama bahwa CU menjadi salah satu prioritas gerakan Seksos paroki selama 5 tahun, merupakan komitmen pengurus Seksos paroki seKeuskupan Surabaya, demikia dinyatakan dalam acara alam pertemuan di Puhsarang 10-12 November 2006 tiga tahun lalu. Dikatakan oleh PSE keuskupan Surabaya bahwa CU memberi kesaksian dan tanda bahwa orang Katolik hadir sebagai perintis gerakan yang tujuannya demi kesejahteraan umum, bahkan orang Katolik terpercaya dalam mengelola keuangan.
Sedang Di Makasar Uskup Agung Makassar Mgr Yohanes Liku mengatakan pada rapat tahunan CU Mekar Kasih, yang berbasis di gereja St. Fransiskus Assisi 24 Januari yang lalu, bahwa CU itu cocok untuk masyarakat kecil sehingga keuskupan agung memulai CU untuk mengembangkan keadaan ekonomi umat. “CU mengemban misi solidaritas dan kebersamaan yang dasarnya adalah cinta kasih,” katanya.
VESTED INTEREST BERKENDARAAN AGAMA
Perkembangan gerakan credit union di Indonesia menjadi gambaran suram bagaimana kepentingan kapital menyelinap melalui institusi agama dan rohaniawan. Kelihaian para petualang bisnis yang terdidik dalam merebut hati institusi agama, untuk menggunakan posisi dan citra mereka di mata masyarakat dalam menterjemahkan kepentingan bisnis kapitalis ke dalam nilai-nilai luhur agama.
Dengan mengusung tema-tema yang sejajar dan selaras dengan apa yang sekiranya menjadi concern institusi agama, kapitalis berhasil memperleh dukungan luar dalam dari institusi gerja dan para pastor. Dukungan para pastor dan dewan paroki ada beragam bentuk, ada pastor yang mendorong kehadiran CU di Parokinya, memberi teladan dengan menjadi anggota CU, mempromosikan CU dalam kotbah dan renungan atau selalu mengingatkan para pengurus untuk mengadakan pertemuan. Ada pula yang mendukung dengan cara meminjamkan fasilitas seperti meja, kursi, komputer hingga penyediaan ruangan. Pula dukungan dewan paroki yang memberi modal awal untuk CU rintisan dari dana paroki, yang kelak harus dikembalikan. Hal demikian telah membutakan sebagian umat awam tentang lemahnya sistem CU sehingga rentan terhadap manipulasi dan tindak korup
Para petualang bisnis yang jeli tentu melihat keuntungan potensial dari adanya dukungan institusi dan tokoh agama. Setidaknya, situasi tersebut dapat menciptakan ruang untuk menyembunyikan kepentingan ego pebisnis di balik citra mulia institusi agama dan para pemukanya. Sejarah menunjukkan, bahwa tempat paling aman untuk menyembunyikan kepentingan ego pribadi adalah simbol-simbol agama. Pebisnis licin paham betul bahwa ada setidaknya dua hal yang harus dikuasai untuk melancarkan bisnis yakni agamawan dan politisi.
Akumulasi dana masyarakat yang terkumpul dari persuasi paham kepercayaan yang ditaburkan oleh institusi agama dan para rohaniawan merupakan keuntungan potensial yang lain. Lebih jauh, sifat-sifat produk/ janji yang ditawarkan oleh credit union mnegindikasikan bahwa credit union hanyalah baju dari sebuah kekuatan kapitalis besar yang memanfaatkan isu-isu kemiskinan. (bagian ini akan dikaji tersendiri). Lain dari itu, masih lemahnya pengaturan dan pengawasan pemerintah terhadap operasi credit union melengkapkan kemudahan bagi para petualang untuk engartikulasikan sifat dasarnya yang bersifat manipulatif dan korup.
Kejelian dan kemampuan untuk melihat peluang-peluang bisnis yang bakal memberi keuntungan besar bagi kepentingan diri tentunya tidak dimiliki oleh semua umat. Kemampuan demikian sangat terkait dengan hal-hal yang bersifat matematis keuangan, politis organisasi dan ketersedian akses informasi teknis detail operasional keuangan CU. Makin kritis dan tidak materialis masyarakat di suatu daerah, maka makin sulit CU berkembang di daerah tersebut.
Bagaimanapun, operasi CU di indonesia diawali dengan mengusung tema yang menawan dan kontekstual yakni melawan kemiskinan untuk menutupi maksud maipulatif yang sesungguhnya. Dengan memberi 70 kepada satu orang rakyat miskin yang menilai tinggi 25, untuk mengeruk 720 dari akumulasi 4 orang miskin. Menggandeng institusi agama dan para pemukanya untuk mengesankan bahwa CU adalah bagian dari pelaksanaan nilai-nilai agama.
Untuk menghindari jatuhnya korban atas kotbah-kotbah yang bersifat deceptive dan memanipulasi keawaman kalangan umat, menjadi perlu adanya perluasan penyebaran second opinion, yang bukan berasal dari mereka-mereka yang terlihat kuat memiliki kepentingan atas credit union. Kajian-kajian alternatif akan memberikan kesadaran yang mampu menjadi filter penyelipan kepentingan kapitalis melalui gereja. Selebihnya adalah peningkatan daya kritis masyarakat. Hal demikian akan dapat menjadi perisai bagi masyarakat untuk tidak mudah di-CU-kan, sekalipun hal tersebut mungkin bakal menjadi syarat mendapatkan "pencucian dosa"
SYIAR AGAMA BERKENDARAAN CU
Dukungan institusi agama terhadap CU, tentunya tidak bebas kepentingan. Setidaknya, bila dilihat dari situasi perpolitikan dan rivalitas yang sedang berkembang akhir-akhir ini di Indonesia. Lain dari itu, CU juga berpotensi untuk dapat digunakan langsung atau tidak langsung sebagai counter atas menguatnya institusi ekonomi dari kelompok agama lain yang juga semakin mewarnai sistem perekonomian di Indonesia seperti bank syariat, BMT dan institusi pengelola zakat yang pada awalnya juga menggunakan ketokohan agama dan menjadikan kisah-kisah sukses dari institusi ekonomi yang dibangun sebagai bagian dari dakwah (kesaksian). Lebih dari itu gereja sebagai organisasi jelas membutuhkan masa dan dana. Dua hal itu pulalah yang dalam sejarah gereja, telah menjerumuskan gereja ke dalam perkara-perkara yang menggerus kewibawaan moral gereja
Karenanya pula, menjadi wajar bila tidak mudah bagi awam untuk menemukan publikasi luas tentang kajian-kajian kritis alternatif terkait CU, kisah-kisah kegagalan, penyelewengan dari operasionalisasi lembaga CU di lapangan sehubungan dengan kelemahan-kelemahan sistemik dan perilaku para petualang.Setiap periode anggota memang diberi laporan keuangan cu. Akan tetapi apalah artinya laporan keuangan bagi seseorang yang awam. Yang mereka tahu aset meningkat?
Bagaimanapun, publikasi tentang hal-hal tersebut akan membuka kelemahan dari suatu sistem yang didukung oleh gereja. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan. bagi gereja. Konsep pengampunan dan pentingnya menutup aib sendiri sebagai bagian dari pelaksanaan nilai-nilai agama dapat menjadi sarana pembelokan perkara untuk menghindari sentuhan negatif dari sisi gelap fakta penyelewengan-penyelewengan CU terhadap upaya-upaya positioning politik kaum minoritas di Indonesia. Hasilnya, hanya kisah-kisah sukses sebagai bagian dari kesaksian yang bisa dan boleh didengar oleh publik. Selebihnya hanya konsumsi internal para kapitalis yang menjadikan gereja sebagai tempat menyembunyikan keserakahannya.
*****
SKEDUL TEMA KAJIAN YANG AKAN DATANG:
1. Sebuah Kajian: Credit Union dan Mengapa di Kalimantan Barat?
2. Sebuah Kajian: Credit Union dan Mengapa Kalangan Bawah?
3. Sebuah Kajian: Credit Union dan Mengapa Setoran Awal?
4. Sebuah Kajian: Credit Union dan Siapa yang untung?
5. Sebuah Kajian: Credit Union dan Koperasi?